Sekbid
Pengembangan Pemikiran dan Penelitian MUI Kab. Bandung
Secara
sederhana, bekerja adalah mengoptimalkan segenap potensi fisik dan psikis yang
dianugerahkan Allah untuk memenuhi apa yang menjadi kebutuhan hidup dengan cara
menggerakkan potensi-potensi tersebut sesuai fungsinya.
Manusia telah
Allah karuniai berbagai potensi, mulai dari panca indera, perasaan, pikiran
sampai pada kesempurnaan fisik. Semua itu tentu memiliki hikmah tersendiri bagi
kehidupan manusia, di antaranya sebagai alat (tools) untuk mendapatkan apa yang dibutuhkan. Dalam kerangka ini,
menggunakan semua pemberian Allah sesuai dengan kehendakNya, adalah salah satu cara
bersyukur terhadap nikmat yang telah dianugerahkanNya.
Bekerja atau kasb dalam Bahasa Arab merupakan salah
satu perintah Allah. Banyak ayat maupun hadits yang mendorong kaum muslimin
untuk senantiasa bekerja. Di antaranya;
Dan apabila kamu
telah selesai shalat, maka bertebaranlah di muka bumi, dan carilah sebahagian
karunia Allah serta ingatlah selalu akan Allah dengan ingatan (dikr) yang
sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung (al-Jumuah:10)
Seorang muslim
tidak dibenarkan berpangku tangan dan membiarkan dirinya dalam kekurangan
dengan alasan bahwa mendahulukan urusan akhirat itu jauh lebih penting dari
hanya urusan dunia. Mencari nafkah dan segala yang berkaitan dengan kekayaan
atau materi dianggapnya urusan yang tidak diperintah Allah untuk
mengusahakannya.
Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) akhirat
dan janganlah melupakan bagianmu (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah
(kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah
kamu berbuat kerusakan dimuka bumi sesungguhnya Allah tidakmencintai
orang-orang yang berbuat kerusakan (al-Qashash:77)
Ibadah secara
bahasa artinya menghamba, membaktikan atau mengabdikan diri. Maksudnya,
mendekatkan diri kepada Allah dengan cara melaksanakan semua perintahNya,
menjauhi semua laranganNya dan mengerjakan apa-apa yang diizinkanNya. Jadi,
ibadah merupakan cara seorang hamba untuk lebih mendekatkan dirinya kepada
Allah dengan mematuhi aturan-aturanNya yang berupa larangan, perintah dan
segala yang diizinkanNya.
Tidak mungkin
Allah memerintahkan sesuatu, kecuali pasti dibalik perintah itu ada hikmah dan
manfaat besar yang akan diterima oleh si hamba. Sebaliknya, tidak mungkin Allah
melarang sesuatu kecuali ada madarat dan bahaya besar yang akan mengancam hamba
itu sendiri bila larangan tersebut tidak diindahkannya.
Di saat seorang hamba
sudah mampu mendekatkan dirinya kepada Allah dengan sedekat-dekatnya, maka
keutaamaan dan ketinggian derajat akan dia peroleh. Ibarat seorang rakyat biasa
yang mampu menjadi pelayan seorang raja, maka sebagian apa yang diperoleh dan
dimiliki sang raja akan didapatkan pula oleh si pelayan itu. Bila orang lain,
kendatipun seorang pejabat, tidak bisa sembarangan duduk berdampingan dengan
sang raja, si pelayan dengan mudahnya dapat duduk manis di sampingnya tanpa
prosedur yang menyulitkan, kenapa? Karena dia sudah mendapat kepercayaan dari
sang raja yang disebabkan kedekatannya, kendatiipun si pelayan adalah rakyat
biasa. Semua kepercayaan yang berbuah kelengkapan fasilitas bagi si pelayan
didapatkan sebagai akibat dari kesungguhannya untuk mentaati semua titah sang
raja dan melayani semua keperluannya.
Tujuan
penciptaan
Allah tidak
pernah menciptakan apapun dengan sia-sia, terlebih lagi manusia. Sebagai
makhluk yang dimuliakan Allah, manusia mengemban tugas sebagai khalifah Allah
di muka bumi, yang memiliki resiko untuk mendapatkan dosa, pahala atau balasan
dari apa yang pernah diperbuatnya.
Maka
apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main
(saja) dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? Maka Maha Tinggi
Allah Raja yang sebenarnya; tidak ada Tuhan selain Dia, Tuhan yang mempunyai
arsy yang mulia. (al-Mukminun:115-116)
Adapun tujuan
Allah menciptakan manusia adalah supaya manusia beribadah kepadaNya. Dan tidaklah Aku ciptakan manusia dan jin,
melainkan untuk beribadah kepadaKu (adz-Dzariat:56).
Jika
tugas utama manusia di dunia ini adalah beribadah kepada Allah, maka merugilah
mereka yang tidak mengisi waktu yang berjalan dalam kehidupannya dengan
beribadah. Sebagai seorang muslim sejatinya memiliki sebuah tekad yang kuat
bahwa semua apa yang dilakukan dalam hidupnya adalah ibadah, kullu hayaatuna ibaadah. Begaimana
caranya?
Secara garis besar, ibadah terbagi
pada dua; ibadah khusus (ibaadatul khash),
yaitu ibadah yang tata-cara pelaksanaannya telah rinci dijelaskan dalam
al-Quran maupun al hadits. Shalat, zakat, shaum atau berhajji, merupakan
beberapa contoh dari ibadah khusus. Ibadah jenis ini bersifat givent atau terima apa adanya sehingga
tidak diperkenankan untuk ditambah-tambah apalagi dikurangi. Seorang muslim
tinggal melaksanakannya sesuai dengan yang diajarkan dan dicontohkan oleh
Rasulullah SAW.
Kedua, ibadah umum (ibaadatul ‘Aam), yaitu ibadah yang
tata-caranya tidak dijelaskan secara rinci dalam al-Quran maupub al-hadits,
mengingat ibadah jenis ini sangat memungkinkan berkembang sesuai dengan
kemajuan ilmu dan pengetahuan. Misalnya, cara berdagang, hubungan sosial,
kehidupan politik, hukum. Umumnya bidang muamalah banyak yang masuk dalam
kategori ibadah umum.
Aktivitas manusia bila dilihat dari
tahapannya paling tidak mencakup pada tiga komponen; niat, aksi (pelaksanaan) dan hasil. Niat dan aksi berada dalam
wilayah kewenangan manusia, sementara hasil sudah menjadi urusan Allah. Manusia
tidak diwajibkan untuk menentukan hasil dari apa yang diusahakannya, karena
hasil itu berkaitan dengan masa yang akan datang dan sesuatu yang masih
mengandung misteri. Manusia hanya bisa meramalkan (prediksi) atau mengestimasi
dari apa yang diharapkannya melalui usaha yang dia lakukan, mengenai kepastian
apakah hasil yang akan diperolehnya sesuai dengan harapan atau tidak, maka itu
dikembalikan kepada kehendak Allah. Oleh sebab itu dalam hal ini perlu juga
diiringi sikap tawakal atau berserah
diri kepada terhadap apa yang sudah dilakkannya dengan menyimpan harapan besar
semoga apa yang diberikan Allah adalah yang terbaik.
Menurut Syekh Sayyid Sabiq dalam
Kitab Fiqussunnah, hakikat niat
adalah pekerjaan hati, maksudnya pada saat hati telah menyatakan dan menetapkan
satu keputusan untuk melakukan sesuatu pekerjaan, maka pada saat itu pula telah
hadir niat dan sudah mulai ditentukan balasannya oleh Allah. Apabila niat itu untuk
kebaikan, maka satu fahala Allah tuliskan, sekalipun niat itu belum dilakukan.
Apabila sampai dikerjakan, maka sepuluh kali lipat fahala atau lebih Allah
berikan. Namun berbeda dengan niat untuk berbuat kejahatan, bila itu belum
dikerjakan, maka Allah belum menetapkannya sebagai sebuah dosa atau kesalahan. Subhaanallah begitulah keadilan Allah
dengan segala kasih sayangnya.
“ Allah mencatat kebaikan dan keburukan kemudian menjelaskannya. Barang
siapa berhimmah (niat) amal kebaikan dan kemudian tidak mengerjakannya, maka
Allah mencatat baginya kebaikan yang sempurna. Apabila ia berniat kebaikan dan
mengerjakannya , Allah membalasnya 10 kebaikan sampai 700 kali lipat lebih
banyak. Dan apabila berniat keburukan kemudian tidak mengerjakannya, Allah
mencatatnya sebagai kebaikan yang sempurna. Apabila berniat keburukan kemudian
mengerjakannya, Allah mencatatnya dengan satu keburukan” (HR. Bukhari –Muslim)
Kendatipun niat itu mudah untuk dilakukan,
namun sangat menentukan bagi sah tidaknya atau berkualitas tidaknya apa yang
kita lakukan.”Sesungguhnya amalan itu
tergantung niatnya, dan sesungguhnyan setiap orang mendapatkan sesuai apa yang
diniatkannya ...” (HR. Bukhari Muslim). Berpandai-pandailah kita untuk
memelihara hati, agar selalu mengiringi perbuatan kita dengan niat yang baik.
Tidak ada niat yang paling tinggi nilainya, selain selalu mengharap ridla Allah
SWT. Iringi langkah kaki kita di saat keluar dari rumah menuju ke kantor dengan
kesucian hati, bahwa mudah-mudahan apa yang kita kerjakan di kantor untuk
menafkahi keluarga ini diridlai Allah SWT.
Adapun berkaitan dengan cara kita
dalam bekerja, Allah telah menetapkan aturan-aturanNya dalam al-Quran maupun al
Hadits berupa tiga perkara; larangan,
perintah dan yang dibolehkan (jaiz).
Larangan dan perintah Allah sudah begitu jelas diungkapkan, sementara untuk
yang dibolehkan, membutuhkan kecerdasan kita dalam memahami perkara itu. Selama
urusan itu tidak bertentangan dengan aturan Allah, sekalipun belum pernah
terdapat di zaman Rasulullah SAW dan belum pernah beliau menegerjakannya, maka
perkara itu termasuk katagori mubah, atau dibolehkan.
Jangan pernah mencoba untuk
mengerjakan usaha dengan yanng sudah jelas Allah haramkan, karena kendatipun
kita terbebas dari hukum manusia di dunia, maka yakinlah bahwa di akhirat tidak
mungkin untuk bersembunyi dari hukum Allah.
Sesunggunya
yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat perkara
yang subhat (samar-samar) dan tidak diketahui banyak orang. Maka barang siapa
yang takut dengan yang syubhat, berarti dia telah memelihara agamanya dan
kehormatannya... “ (HR. Bukhari dan Muslim).
Berusahalah untuk selal
istiqamah dalam melangkah di jalan Allah kendatipun godaan di sana sini begitu
jelas menghiasi yang begitu mudah untuk diraih. Harta yang diperoleh dengan
cara yang haram maka akan mendorong pikiran dan perilaku berikutnya yang haram
pula, karena energi yang menggerakkan tubuh ini adalah energi yang haram. Wallahu’alam
0 komentar:
Posting Komentar