Recent Comments

HALAH BIL HALAL DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN

OLEH H. AAM MUAMAR, M.Pd

Begitu familier di telinga kita, istilah halal bil halal, sebagian menyebutnya dengan halal bi halal,  dipakai sebagai nama dari kegiatan berkumpul pasca idulfitri. Baik yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah, swasta maupun perkumpulan-perkumpulan. Mereka  seakan-akan berlomba untuk mengadakan kegiatan tersebut sebagai momentum untuk bertemu, bercengkrama dan konsolidasi yang wajib dilaksanakan setelah idulfitri.
Idulfitri dalam konteks budaya masyarakat Indonesia, merupakan momentum untuk saling berkunjung bersilaturahiem dan saling menguatkan kembali hubungan persaudaraan serta rekananan. Tema besarnya adalah saling memaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan baik yang bersifat peribadi maupun institusi. Budaya ini tidak dapat disalahkan, karena, bila merenungkan makna idulfitri sendiri yang secara bahasa berasal dari kata id yang artinya kembali dan fithry artinya suci atau bersih. Atinya kegiatan halal bil halal dimaksudkan untuk menindaklanjuti semangat dalam mensucikan diri melalui pertemuan langsung (muwajjahah), bercengkrama dan bersalaman (mushafahah). Kendatipun tidak ada riwayat hadis yang menjelaskan bahwa Rasulullah SAW senantiasa mengakhiri salat id dengan bersalam-salaman (bermushafahah), namun tidak termasuk perkara yang mengada-ada (bid’ah) jika dalam budaya kita justeru mushafahah merupakan perkara penting yang menyertai ranagkaian ibadah setelah salat hari raya. Dalam hal ini kaidah ushul fiqih menyatakan Al’aadatu syariaatul muhakkamah, maksudnya bahwa kebiasaan (adat) itu dapat dijadikan dasar hukum, selama tidak mennyimpang dari aturan pokoknya dalam hal ini al-Quran maupun al-Hadits. Menurut hemat penulis, halal bil halal ada dalam kontek adat atau kebiasaan yang tidak menyimpang.
Halal bil halal tidak ditemukan dalam kamus istilah Bahasa Arab. Kendatipun kata halal merupakan asli Bahasa Arab, namun ketika dirangkaikan menjadi sebuah idiom atau prase, halal bil halal, maka kata ini tidak dikenal di masyarakat Arab (lisaanul ‘aroby). Jika untuk coba dipahami, halal bil halal bermakna saling menghalalkan, maksudnya saling membebaskan kesalahan/dosa yang ada di antara kita. Dalam istilah lain, upaya untuk saling memaafkan atas kesalahan yang sudah dilakukan baik yang disengaja maupun yang tidak.
Merujuk ada sebuah hadis, bahwa manusia itu cenderung untuk berbuat salah dan dosa (alinsaanu mahalul khataa’i wanisyaani), maksudnya tidak akan pernah ada manusia di duna ini yang terbebas dari kesalahan. Sementara jika dilihat dari jenisnya kesalahan itu ada dua macam : kesalahan kepada Allah (hablun minallahi) dan kesalahan terhadap sesama  (hablun minannaasi), maka setelah kita memohon ampunan kepada Allah melalui serangkaian ibadah di bulan Ramadan, tinggal saling memaafkan dengan sesama dengan cara saling membebaskan.
Terkadang ada yang menghubungkan  istilah halal bil halal dengan silaturahmi atau silaturahiem. Kendatipun memiliki konotasi yang berbeda, namun ada sisi kesamaan dari kedua istilah ini bila melihat dari aspek tujuannya. Yaitu untuk menguatkan ikatan persaudaraan dengan tanpa dibatasi oleh rasa curiga, dendam atau hasud yang bersumber dari adanya tembok perasaan yang menghambat, sebagai akibat dari dosa yang belum terselesaikan atau terbebaskan.
Secara ceremonial, halal bil halal diselenggarakan dalam berbagai bentuk kegiatan, dan yang paling umum adalah berupa undangan berkumpulnya saudara, handai taulan dan rekan atau teman sejawat di sebuah tempat untuk mendengarkan siraman rohani, yang biasanya berisi tentang mutiara hikmah silaturahiem, kemudian sedikit informasi tentang kedinasan atau keorganisasian, dilanjutkan dengan musafahah atau bersalaman dan berakhir dengan ramah tamah berupa makan bersama.
Uraian kegiatan yang ceremonial ini terinspirasi oleh kegiatan sama yang dilakukan secara kenegaraan oleh instansi pemerintah, mulai dari presiden, gubernur, bupati, camat hingga ketua RT. Tidak ketinggalan juga kementerian masing- masing di setiap levelnya. Sehingga kegiatan halal bil halal lebih berupa kegiatan formal yang susunan acaranya telah terstruktur dengan ragam acara yang lebih homogen.
Berbeda halnya dengan silaturahmi atau silaturahiem, dalam konteks budaya masyarakat Indonesia, kegiatannya lebih bersifat terbuka dan pleksibel, jauh dari kesan seremonial yang kaku dan protokoler. Dapat diselenggarakan kapan saja dan dimana saja dengan manual acara yang disesuaikan kebutuhan dan bentuk acara. Rekreasi di tempat hiburan, berukumpul sambil makan bersama, atau berkunjung ke rumah yang dipertua untuk sekedar ngobrol-ngobrol atau  bertukar pikiran.
Walhasil, baik halal bil halal maupun silaturahmi bertujuan untuk menghapus dosa yang diharapkan dapat membersihkan diri dari berbagai penyakit hati, seperti iri, hasud, dendam maupun dengki yang dapat menjadi penghambat dalam berinteraksi sosial.
Setidaknya terdapat dua dimensi penting yang menjadi landasan dalam halal bil halal. Yaitu dimensi spiritual dan dimensi sosial. Dimensi spiritual diwujudkan dengan semangat untuk saling memaafkan sebagai sebuah panggilan jiwa dari rasa keimanan atau keyakinan bahwa semua ini merupakan perintah Allah yang apabila terlewatkan, maka akan menjadi dosa yang berujung pada kesengsaraan hidup di dunia dan akhirat. Sementara dimensi sosial dinampakkan dalam bentuk kesadaran untuk berkumpul, bertatap muka, berinteraksi dengan kerelaan untuk kembali menerima kehadiran orang-orang yang ada disekitarnya, baik yang terikat oleh hubungan darah (keturunan) maupun yang terhimpun dalam ikatan kerja. Bukan saja mereka yang sudah diterima sebagai sahabat, namun orang yang sempat dianggapnya sebagai musuh, pada saat itu semua mendapat perhatian yang sama sebagai objek penting dalam pergaulan keseharian.
Dua dimensi ini berbuah rasa lega dalam hati seseorang, akibat keyakinan telah terhapusnya kesalahan dan telah menyelesaikan berdampak pada sehatnya kembali hubungan interaksi sosial di antara mereka.
Komponen Penting Pendidikan
Pendidikan merupakan upaya sadar yang terencana dalam proses mendewasakan. Karena dalam pendidikan terjadi hubungan yang multi arah; pendidik dengan peserta didik, lingkungan dengan peserta didik, atau lingkungan dengan pendidik. Maka komunikasi menjadi hal penting dalam terciptanya proses pendidikan yang kondusip dan pencapaian tujuan yang optimal.
Secara sekilas, al-Qran mengisyaratkan mengenai pentingnya komunikasi dalam pendidikan. Seperti dalam kisah Lukmanul hakim yang tengah menasehati anaknya, Allah berfirman: Dan ingatlah ketika Lukman berkata kepada anaknya: Wahai anakku janganlah kamu menyekutukan Allah, sesungguhnya syirik itu merupakan kedhaliman yang paling besar (QS. Lukman : 12).
Berdasarkan ayat tersebut, ada 2 hal penting yang harus dilakaukan pendidik dalam mengomunikasikan pendidikan kepada peserta didik. Pertama, komunikasi secara langsung lebih utama dari komunikasi yang tidak langsung. Kalimat wahuwa ya’idzuhu (dan dia sedang menasehatinya) menggambarkan bahwa Lukman langsung menyampaikan pesan itu kepada anaknya. Terjadi komunikasi face to face secara empat mata. Dalam proses pendidikan, komunikasi secara langsung memiliki banyak kelebihan, diantaranya terjalinya hubungan batin (cimestry) antara pendidik dengan peserta didik. guru dapat “meraba” bagaimana kondisi mental dan kesiapan peseta didik untuk menerima pelajaran. Selain itu memudahkan untuk dilakaukan perbaikan. Jika terjadi kesalahan dalam memahami atau meredaksikan bahasa, atau dalam penyampaian pesan, maka guru atau muris dapat dengan mudah dan cepat melakukan perbaikan. Padahal khususnya dalam dunia ilmu pengetahaun, kesalahan memami karena pesan yang tidak lengkap atau redaksi yang keliru dapat berakibat patal bagi siswa dalam membangun konsep dan mengimplementasikannya di dunia  nyata.
Pentingnya komunikasi langsung dalam pendidik menjadi salah satu alasan, kenapa fungsi dan kedudukan guru di kelas tidak dapat digantikan dengan yang lainnya. Kendatipun teknologi kumunikasi telah begtu maju, sehingga siapapun, tidak terkecuali peserta didik, dapat dengan mudah untuk mengetaui sesuatu dengan cukup mengakses ke Gooegle, atau melakukan telekomprens (pembicaraan jarak jauh) melalui website atau situs-situs yang memberikan layanan kependidikan, namun tetap saja kehadiran guru menjadi hal yang tidak boleh ditinggalkan..
Halal bil halal yang mengedepankan aktivitas pertemuan langsung, setidaknya menjadi pelajaran bagi pelaku pendidikan bahwa bertatap muka dengan oranag-orang yang terkasih atau yang menajadi tanggung jawab kita merupakan kondisi yang tidak dapat diabaikan dalam menyampaikan pesan. Akan terasa beda, ketika bersilaturahiem via telpon atau surat, dengnan kita mengatakannya secara face to face. Dari muatan pesan yang disampaikan, mungkin surat elektronik (e-mail) atau surat manual bisa lebih lengkap dan detail, demikian juga telphon, namun beda dalam hal kepuasan batin. Itulah sebabnya tradisi mudik masih begitu dijaga dan dilaksanakan setiap kali selesai lebaran. Meskipun harus berjibaku dengan kemacetan dan rasa lapar juga lelah karena perjalanan jauh yang dibarengi puasa, namun ketika bertemu langsung dengan orang-orang terkasih, sauudara, orang tua dan handai taulan di kampung jauh memberikan rasa lega dan sekalaigus menjadi obat mujarab hingga hilang sudah cape, susah, mahal ongkos.
Bila halal bil halal mengajarkan kita mengenai pentingnya muajahan (bertemu langsung), maka bagi guru diharapkan harus memanfaatkan kesempatan untuk  berkomunikasi langsung dengan peserta didik, sekaligus meningkatkan kompetensinya dalam mengelola komunikasi pembelajaran, demi tercapainya tujuan pendidikan yang lebih optimal.
Kedua, disaat Lukmanul Hakim memanggil anaknya dengan kalaimat yaa bunayya (wahai anakku), dalam kamus lisanul ‘Arab bahwa kalimat yabunayya itu merupakan panggilan yang disertai rasa cinta, kasih sayang. Karena dalam Bahasa Arab, tidak selamanya memanggil anak itu dengan kalimat yaabunayya, namun dapat juga dengan kalaimat lain, seperti yaa ibnii, atau yaa ibnatii. Namun kedua panggilan ini beda dalam rasa yang mengiringi si pemanggil di saat berdialog dengan anaknya.
Artinya, dalam komunikasi pendidikan dibutuhkan rasa yang menyertai interaksi antara guru dan siswa. rasa yang dimaksud adalah rasa cinta, kasih dan sayang. Meskipun seorang guru terbatas kemampuan dalam memverbalisasikan pikitran-pikirannya dalam untaian kalimat yang indah atau mudah dipahami, namun perasaan menajdi kata kunci bagi dapat tidaknya pesan itu diterima oleh murid dengan baik. Ingatkah kita dengan Sang Guru Qalbu, Ibu Een. Ya, beliau mengajar murid-muridnya dengan segala keterbatasan fisik, termasuk bahasa, namun pesan-pesannya begitu mudah dipahami dan diikuti oleh murid-muridnya hingga menghantarkan mereka menjadi siswa-siswa yang berprestasi. Inilah  bukti bahwa perasaan menjadi central point dalam komunikasi.
Ketika halal bil halal dilaksanakan, maka ada dua kalimat yang pantas untuk diungkapkan oleh kita yang hadir di acara tersebut, yaitu kalimat istigfar (permohonan maaf dan memaakan) dengan kalimah tahniyah (doa untuk diterimanya amalan selama Ramadan, berupa kaliamat taqabbalallaahu minna waminkum). Dua kalimah ini tidak mungkin terucap dari mulut seseorang, kecuali yang bersangkutan membuka hatinya terlebih dahulu dan mengisinya dengan rasa cinta untuk menerima kehadiran saudaranya. Permohonan maaf atau pemberian maaf yang hanya life service (penghias bibir saja) tidak akan memperbaiki hubungan sosial di antara pelakunya dan tidak akan pernah sampai ke langit, maksudnya permohonan dan pemberian maafnya tidak akan diterima Allah.
 Di sini tradisi halal bil halal mengajarkan tentang pentingnya cinta sebagai landasan dalam berkomunikasi jika ingin berbuah hubungan yang kondusip dan bermakna di antara sesama. Demikian halnya dalam dunia pendidikan, guru dituntut untuk secara “ikhlas” melakukan komunikasi dengan peserta didiknya, supaya ilmunya menjadi berkah dan mengajarnya menjadi ibadah.
Imam al-Ghazali dalam kitabnya al-Bidaayah wa al-Nihaayah, menjelaskan makna dari hadits al-Ilmu nuurun (ilmu itu adalah cahaya), bahwa tidak mungkin ilmu itu akan turun kecuali pada orang-orang yang memiliki hati bersih. Ilmu itu bersumber dari Allah, sementara Dia adalah Dzat yang Maha Suci, maka tidak mungkin ilmu-Nya akan turun kepada mereka yang berhati busuk dan kotor.
Lagi-lagi di sini kita diingatkan dengan pentingnya kondisi mental atau batin dalam proses transper ilmu yang menjadi point penting dalam pendidikan. Kebersihan hati berpengaruh terhadap mampu tidaknya pesan-pesan ilmu itu diserap. Rasa curiga, iri, hasud apalagi dendam, merupakan kondisi mental yang akan menjadi penghambat dalam kelancaran proses pendidikan.
Jika halal bil halal itu bertujuan untuk saling bermaafan, maka siapapun kita yang berada dalam haflah itu untuk senantiasa berupaya agar betul-betul kegiatan pertemuan ini membuat bersih hati dari berbagai penyakit. Demikian halnya dalam pendidikan, jika ingin keberkahan dan kebermanfaatan ilmu yang dipelajari dalam interaksi pembelajaran, maka disamping syarat-syarat formal yang harus dipenuhi pendidik, seperti yang telah digariskan dalam ilmu didaktik-metodik atau pedagogik, maka kebersihan hati kita sebagai seorang pendidik yang tengah mendapat tugas mulia, membimbing masa depan generasi bangsa supaya memperoleh kemajuan dan keberhasilan. Bersihnya hati memudahkan turunnya pertolongan Allah, dan apabila Allah telah hadir dalam aktivitas hambaNya, maka tidak ada yang tidak mungkin. Wallahu’alam bish shawaab...
Share on Google Plus

About Unknown

0 komentar:

Posting Komentar